Senin, Agustus 25, 2008

Ilmu-nya__Sufi Anak Zaman

Pemikiran Islam bertujuan untuk meningkatkan kecerdasan akal dan hati manusia, serta mendorongnya untuk mengungkap rahasia-rahasia alam dan misteri kehidupan.

Seorang Sufi Anak Zaman diwajibkan untuk selalu menuntut ilmu dan belajar kepada yang lebih memahami setiap persoalan, belajar agama, belajar ilmu dan teknologi modern, dan tentu saja belajarlah pada ahlinya, selanjutnya berdo’alah agar Allah menjelaskan manhaj yang benar dan sempurna kepada kita semua untuk kembali pada prinsip-prinsip guna mencapai tujuan yang telah kita janjikan kepada Allah SWT. Bagi seorang yang terpelajar dan berpendidikan di zaman modern ini, selayaknyalah menyikapi setiap pembelajaran atau bacaan yang didapat dengan direnungkan dalam hati akan apa yang terkandung dalam pelajaran atau bacaan tersebut, jika kita memahami, maka hal itu menjadi peringatan bagi diri kita dan peringatan itu akan sangat bermanfaat bagi seorang yang ingin mendekatkan diri kepada Allah dengan tidak meninggalkan pekerjaannya sehari-hari. Andaipun hal itu tidak bisa dicapai, maka itu dianggap sebagai proses pencarian ilmu dan Rasulullah SAW telah menyuruh kita untuk mencari ilmu hingga ke negeri Cina sekalipun. Hal ini berarti kita dituntut terus untuk mencari ilmu pengetahuan sampai ajal menjemput. Kita diminta untuk mencari ilmu dari berbagai sumber, dari berbagai literatur sekalipun akar budayanya berbeda.

Perlu diketahui juga, bahwa Sufi Anak Zaman mengenal dua macam ilmu pengetahuan, yaitu : Pertama, ilmu yang tertanam di dalam hati, maka itu merupakan ilmu yang bermanfaat. Karena ilmu itu akan mengikuti setiap gerak langkah orang yang memilikinya, setiap aktivitasnya akan dikaitkannya dengan pengetahuan yang ia miliki. Dan kedua, ilmu sebatas ucapan di mulut, maka itu merupakan hujjah Allah terhadap manusia. Ilmu kedua inilah yang dihindari oleh seorang Sufi Anak Zaman. Karena ia tahu Allah SWT telah menerangkan dalam kitab-Nya bahwa terdapat dua jenis manusia; yang pertama, yaitu Firman Allah : “Dan Sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahannam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakan untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga tetapi tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu bagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai” (QS Al A’raaf : 179). Dan yang kedua, Allah berfirman : “Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik yaitu Al-Qur’an yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka diwaktu mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah dengan kitab itu Dia menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang disesatkan Allah, maka tidak ada seorangpun pemberi petunjuk baginya”. (QS Az Zumar : 23).

Bagi orang yang berilmu, jika ia ternyata menjadikan dirinya masuk ke golongan pertama, maka celakalah dirinya, karena golongan ayat pertama tersebut merupakan golongan orang-orang yang lalai, golongan orang-orang yang tidak mendengarkan ilmu dan tidak peduli dengan nasehat dan petuah, padahal mereka tahu, bahkan mereka mempelajarinya, baik di sekolah ataupun di majelis taklim. Sedangkan kelompok yang kedua adalah golongan orang mukmin yang hatinya lembut dan penuh dengan keimanan. Merekalah yang mau mendengarkan ilmu dan tersentuh dengan nasehat, petuah, peduli dengan lingkungan, dalam setiap kondisi dan keadaan yang membutuhkan pertolongan, peka atas penderitaan orang lain, ikut merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain, baik itu susah ataupun gembira. Hal ini tercermin dalam firman Allah SWT : “Dan orang-orang yang apabila diberi peringatan dengan ayat-ayat Tuhan mereka, mereka tidaklah menghadapinya sebagai orang-orang yang tuli dan buta” (QS Al Furqaan : 73). Inilah yang perlu selalu disikapi dengan bijak oleh seorang Sufi Anak zaman.

Dan bagi seseorang yang telah tertutup hatinya dari segala sinar yang terang yang dibawa oleh Al Qur’an dan Hadits Rasul, akan merasakan kegelapan seperti mata yang tertutup kabut asap tebal, yang memerihkan penglihatan dan mengaburkan pandangan, ia tak dapat mengambil manfaat apapun darinya. Ia laksana tanah gembur yang tidak bisa menyerap apapun dari air hujan. Namun sebaliknya seseorang yang memiliki hati yang halus, lembut dan menjadikan Al Qur’an dan Al Hadits sebagai pelita hatinya, mengamalkan apa yang dipahaminya, melaksanakan apa yang ia pelajari, baik di sekolah, bangku kuliah atau dalam majelis-majelis taklim yang diikutinya, maka hati yang seperti inilah yang dapat menyerap manfaat dari ilmu yang berguna, “Dan tanah yang baik, tanaman-tanamannya tumbuh subur dengan seizin Allah” (QS Al A’raaf : 58)

Sekalipun duduk di pemerintahan, sebagai seorang pejabat, seorang pengusaha sukses, seorang profesional, seorang tukang kebun atau buruh kasar sekalipun, jadikanlah hati sebagai hati yang bersinar, memberikan manfaat bagi orang banyak, nurani yang terbuka, tidak menyakiti hati orang-orang yang ada di lingkungannya, tidak memojokkan orang-orang yang telah berbuat salah, membantu orang-orang yang dalam kesusahan, sekalipun orang tersebut salah atau orang tersebut mempunyai tindak tanduk yang tidak berkenan dipandang mata dan tidak sedap diresapi di hati, ia mampu menumbuhkan semangat siap berjuang di jalan Allah, menjalin silaturahmi, mendamaikan suatu pertikaian dengan tujuan untuk menegakkan agama Allah. Niscaya kita akan menjadi orang-orang yang beruntung. Sesungguhnya orang yang mempunyai ilmu sedikit dan menguasai serta mengamalkannya dengan baik, dan dimanfaatkan untuk khalayak ramai, maka itu lebih baik dari ilmu yang banyak tanpa ada pengamalan, banyak memiliki ilmu bahkan terkadang memiliki gelar Sarjana Agama, Magister Agama, Doktor Agama dan sebagainya, tetapi kenyataan dalam kehidupannya sehari-hari jauh dari pengamalan ajaran agama yang telah didapatnya. Mudah berprasangka buruk, menjelekkan orang, mempengaruhi orang lain untuk berbuat khianat dari Allah, bermusuh-musuhan, dan lain sebagainya, maka ilmu yang tinggi tersebut tak ada faedahnya sama sekali, malah ia akan menyengsarakan di akhirat kelak. Takutnya azab yang demikian maka Rasulullah SAW pernah berdo’a kepada Allah semoga dijauhkan dari ilmu yang tidak bermanfaat.

Seorang Sufi Anak Zaman tetap menafkahi dirinya dan keluarganya dari pekerjaan yang telah dipilih atau didapatnya, tanpa harus melepaskannya hanya untuk beribadah saja. Ia merupakan pekerja yang profesional. Ia tidak menghabiskan waktunya hanya untuk berzikir lalu menelantarkan keluarganya. Sekali-kali tidak!!. Wirid yang dilakukannya pada saat menjalankan profesinya adalah dengan cara mendatangi tempat usaha, kantor dan mengerjakan dengan serius profesinya atau pekerjaannya. Namun demikian, ia tetap tidak boleh lupa mengingat Allah SWT di dalam hatinya pada saat menjalankan profesinya atau pekerjaannya. Bahkan seharusnya ia tidak henti-hentinya melafazkan tasbih, zikir dan membaca Al Qur’an. Semua ibadah ini sangat mungkin dilakukannya di sela-sela bekerja dan itu tidak mengganggu pekerjaan yang sedang dilakukannya (tentu saja tidak lupa mengerjakan ibadah wajib seperti Shalat 5 waktu).

Yakinlah bahwa setiap ilmu yang tidak diamalkan tidak akan memberi manfaat bagi yang memilikinya. Misal : Seorang Insinyur Bangunan, ia telah diberikan teori bagaimana membangun sebuah jembatan agar jembatan tersebut kuat, dan tahan lama, akan tetapi ia tidak melaksanakannya, yang diinginkannya hanyalah bagaimana agar ia mendapatkan untung dari proyek pembangunan jembatan tersebut, akhirnya pada saat peresmian, jembatan tersebut sudah runtuh dan celakalah orang-orang yang ada disekitar jembatan tersebut. Atau kita ambil contoh, seorang yang sakit dan diberi obat, tapi ia tidak mau meminum obat tersebut, apakah ia akan sembuh? Atau contoh lainnya seorang yang akan bepergian ke suatu tempat, ia sudah ditunjukkan jalan yang terdekat, tetapi ia tetap saja memilih jalan yang lainnya yang ternyata jauh dan berkelok-kelok, apakah ia akan cepat sampai ke tujuannya? Demikian pula halnya dengan ilmu agama, seorang sudah diberitahu dan memahami, bahwa mendapatkan suatu jabatan dengan cara menyogok, menjilat, merupakan perbuatan terburuk dalam hidup seseorang, tapi ia masih mau melakukannya, walaupun lambat, suatu saat ia akan menemukan kehancuran juga. Ilmu tidak akan bermanfaat bagi manusia di dunia dan tidak akan menyelamatkannya di akhirat tanpa adanya pengamalan. Walaupun kita membaca berbagai macam ilmu selama ratusan tahun dan mengoleksi ribuan buku, puluhan gelar, S1, S2, S3 bahkan Profesor, dan sebagainya tidak akan mendapatkan rahmat Allah kecuali dengan mengamalkannya. “Bahwanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya” (QS An Najm : 39). Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadah kepada Tuhan-Nya” (QS Al Kahfi :110).

Oleh karenanya seseorang yang sudah membekali dirinya dengan ilmu pengetahuan, hendaklah ia senantiasa berpijak dan mengamalkan ilmunya tersebut agar bermanfaat bagi dirinya, orang lain dan agamanya. Ilmu tanpa amal adalah kegilaan yang betul-betul nyata, dan amal tanpa ilmu adalah keterpurukan dari agama yang diridhoi Allah SWT. Sebab, jika ilmu yang dimiliki tidak menjauhkan kita dari kemaksiatan dan kebobrokan moral, dan tidak pula menjadikan seseorang taat, berarti esok hari, ia tidak akan menjauhkan kita dari neraka Jahannam. Jika pada hari ini kita tidak beramal, berarti pada hari esok, kita tidak akan dapat menggantinya di akhirat apa yang telah hilang pada hari-hari yang telah lalu. Keinginan untuk membawa ruh ke dalam ketaatan sebelum ruh berpisah dari jasad melalui kematian, akan menyebabkan seseorang pergi menuju akhirat tanpa bekal.

Jika ilmu saja sudah dianggap cukup dan tidak memerlukan pengamalan maka kerugianlah yang akan dideritanya, akan tetapi jika seseorang mampu mengamalkan ilmunya dan tetap berpijak pada landasan Al Qur’an dan Hadits dalam setiap aktivitasnya, sehingga setiap langkah kaki yang diayunkannya akan tercurah hanya pada Allah SWT semata, dengan demikian ia dapat dikategorikan orang yang memiliki ilmu bermanfaat. Inilah yang dituntut sebagai syarat seseorang yang ingin menjadikan dirinya sebagai “Sufi Anak Zaman”.

Sufi Anak Zaman, adalah seorang sufi yang tidak pernah ketinggalan dalam mengikuti perkembangan zaman, mereka tidak pernah memberontak dan menolak setiap ada perubahan dan perkembangan yang terjadi dalam dunia modern. Bahkan mereka adalah pendukung perubahan itu apabila dipandang baik, lalu mereka menyeimbangkannya dengan kehidupan beragama. Mereka pandai memilih dan menyaring setiap ornamen-ornamen yang masuk dari budaya asing atau dari budaya yang tidak sesuai dengan kehidupan agama yang mereka anut. Mereka adalah orang-orang yang jujur, dan tidak lagi melihat kejujuran itu sebagai gagasan mulia, tetapi mereka memandang kejujuran itu adalah kunci sukses dalam mengarungi bahtera kehidupan. Oleh sebab itu berusaha dan berupaya untuk merealisasikan keikhlasan dan kejujuran serta sering menyembunyikan amal perbuatan dengan hal lain, semata-mata hanya ingin mendapatkan Ridho Allah SWT, inilah hati yang paling sempurna yang selalu diinginkan oleh seorang yang menokohkan dirinya menjadi Sufi Anak Zaman. Mereka juga adalah orang-orang yang adil, dan sungguh-sungguh menjadikan keadilan sebagai suatu kebijakkan yang wajib diimplementasikan dan direalisasikan oleh semua orang, meskipun dalam tekanan sekalipun, mereka tidak takut untuk tetap bersikap adil. Mereka juga belajar banyak untuk mengetahui diri sendiri dan orang lain, serta belajar memahami keinginan dan sifat-sifat dari orang yang ada di sekitar mereka. Selain itu juga mereka sangat fokus terhadap tujuan yang ingin dicapai, sehingga menimbulkan konsentrasi yang tinggi terhadap setiap kegiatan. Mereka juga adalah orang-orang yang mampu membangkitkan sesuatu yang terbaik bagi diri sendiri dan orang lain, karena mereka berwawasan luas dan memiliki visioner ke depan dengan jelas dan tegas. Itulah sebabnya mereka mampu memiliki disiplin diri yang ketat untuk mewujudkan visi ke depan mereka. Dan yang tak kalah penting adalah, Sufi Anak Zaman selalu berusaha mewujudkan keseimbangan kehidupan dunia (keluarga, pekerjaan, masyarakatnya) dan akhirat.

Dengan Sufi Anak Zaman, seorang mukmin tidak harus terpaku pada kejayaan masa lalu, ia sadar bahwa ia hidup pada zaman yang berbeda dan itu mau tak mau harus ia ikuti, lebur dan terlibat di dalamnya. Bagaimana mungkin, kita tidak mendengar musik, kalau sekiranya orang-orang di sekitar kita hidup dengan musik. Seorang Sufi Anak Zaman akan dapat mengajak mereka yang terlibat di musik untuk bermain musik dengan tetap berpegang pada kaedah-kaedah Islam. Menyerukan kepada temannya yang penyanyi, untuk menjadi penyanyi yang berjiwa Islam. Menyentuh hati temannya yang pemain sinetron, untuk menjadi pemain sinetron yang berhaluan Islam. Membuka hati temannya yang atlit, untuk menyeru kepada Islam. Pokoknya mau jadi apa saja, silahkan, asal tetap berpegang pada kaedah Islam. Karena banyaknya profesi yang ditawarkan di zaman ini tidak bisa dihindari lagi. Seorang Sufi Anak Zaman takkan mampu untuk menghentikan tayangan televisi, atau menghentikan panggung-panggung hiburan, karena tayangan-tayangan tersebut atau panggung panggung tersebut sudah pasti akan jalan terus, tidak terbendung, kecuali Allah yang menghendakinya. Anggaplah kita mampu menghentikan tayangan televisi lokal, tapi teknologi modern akan sangat memungkinkan masyarakat menonton tayangan dari luar, bukankah itu lebih parah lagi? Anggaplah kita mampu menghentikan panggung-panggung hiburan, cafe-cafe, bar-bar, discotique, dan sebagainya, tapi itu akan menimbulkan perbuatan anarkis, brutal, padahal Islam itu diusung dengan cara yang damai dan sejuk. Zaman sudah berubah, tak bisa kita berdakwah dengan kekerasan lagi, dengan kecaman, dengan perang.

Seorang Sufi Anak Zaman harus cerdas, ia mampu mencari cara lain yang lebih damai. Yang menyejukkan dan menyenangkan orang-orang yang menerimanya. Seperti halnya jika di lingkungan kita terdapat anak-anak yang suka main gitar, begadang sampai berlarut malam, mencuri ayam tetangga, mengganggu orang-orang lewat, meminum minuman keras dan lain sebagainya. Bagi seorang Sufi Anak Zaman, keadaan demikian bukan merupakan musuh, atau ia langsung berceramah mengeluarkan ayat-ayat Al Qur’an dan Hadits. Tetapi ia akan bergabung dengan mereka, bermain gitar dengan mereka, dengan tetap menampilkan sosoknya yang bersahaja, tetap fokus dengan dirinya sendiri, maksudnya tidak terpengaruh dengan hal-hal yang buruk yang diciptakan oleh anak-anak muda tersebut, malah sebaliknya dengan perlahan tapi pasti ia mampu membuat anak-anak tersebut meninggalkan kebiasaan yang tidak terpuji itu untuk akhirnya mengalihkan kebiasaannya nongkrong di pinggir jalan menjadi penghias mesjid.

Dapat pula dicontohkan tentang maraknya budaya barat yang masuk ke lingkungan anak muda kita, seperti perayaan valentine yang sekarang telah membudaya dan mengglobal melalui berbagai macam media, maka sulit sekali membendung budaya tersebut akan sulit untuk dibendung hanya bisa dikanalisasi, sehingga tidak menimbulkan "banjir". Para pendahulu kita merupakan orang2 yang cerdik melakukannya. Kegemaran orang Jawa terhadap wayang, yang jelas-jelas berasal dari cerita non Islam, diisi dengan sentuhan islami. Kebiasaan orang Indonesia berkenduri memperingati hari-hari tertentu setelah kematian seseorang yang jelas bukan ajaran islam diisi dengan roh islam. Itu yang seharusnya dilakukan sekarang sebagai kanalisasi kebanjiran budaya barat. Mungkin anak-anak kita dapat diarahkan kalau hari valentine itu mengucapkan kasih sayang anak terhadap orang tua atau sebaliknya atau terhadap saudara, atau terhadap sesama. Kasih sayang itu misalnya bisa berupa pemberian hadiah-hadiah kecil. Menurut saya ini lebih bermanfaat karena sejak dulu telah pula disampaikan mengenai masalah ini seingat saya saja sejak walan tahun 80-an telah ramai dibahas tapi nyatanya sekarang semakin membesar. Maka kanalisasi akan lebih bermanfaat daripada berteriak di padang pasir. Alasannya hanya satu karena kita sebagai bangsa/kaum adalah kalahan dalam segala hal, makanya akan selalu dipengaruhi dan tidak pernah mempengaruhi bangsa lain. Seandainya kita bangsa yang besar tentu ceritanya akan lain.

Sufi Anak Zaman berkeyakinan bahwa kehidupan dunia adalah ladang yang akan dipanen di akherat nanti, oleh sebab itu seorang Sufi Anak Zaman, tidak meninggalkan dunianya untuk akheratnya, tetapi menjadikan dunianya sebagai ladang amal ibadahnya.

4

Tasawuf-nya__Sufi Anak Zaman

“Sesungguhnya bagimu sudah ada pada diri Rasulullah ikutan yang baik (Pemimpin diri rohani dan jasmani), yaitu bagi orang yang mengharap ridha Allah dan Hari Kemudian, dan bagi orang yang banyak mengingat Allah (zikir)” (QS Al ahzab : 21)

Seorang Sufi Anak Zaman tidak dapat dipisahkan dari pelajaran tasawuf. Tasawuf adalah ilmu yang bermanfaat untuk mengetahui kondisi nafsu yang terpuji dan yang tercela, juga mengetahui bagaimana cara membersihkan kebobrokkan nafsu, cara menghiasinya dengan nafsu yang terpuji, cara meniti dan berjalan serta berlari menuju Allah SWT. Ilmu tasawuf adalah suatu disiplin ilmu yang tidak bisa digapai, kecuali oleh orang yang pandai dan mengetahui kebenaran, bagaimana mungkin ilmu ini bisa diketahui oleh orang yang tidak mampu menyaksikan keindahan-Nya, bagaimana mungkin ilmu ini dapat diamalkan oleh orang yang tidak dapat mensyukuri nikmat-Nya? Karena bagaimana mungkin orang yang buta bisa melihat indahnya mentari?

Sebagian orang terutama mereka yang sehari-harinya memiliki aktivitas rutin, walaupun disibukkan dengan pekerjaan, mereka tidak akan sulit untuk belajar tasawuf. Cobalah untuk menghilangkan dari pola fikir yang mengatakan bahwa tasawuf itu harus mengucilkan diri dari pergaulan sehari-hari. Harus meninggalkan pekerjaan yang sudah didapatnya. Harus berkeliling dari mesjid ke mesjid, atau suluk dari tempat satu ke tempat lainnya. Jika demikian maka amalan tasawuf akan sulit dilaksanakan di masa sekarang ini.

Dalam dunia modern, Sufi Anak Zaman, menempatkan tasawuf tidak lagi bergantung pada hal menjalankan ritual seperti tersebut di atas, karena sebagaimana halnya dengan agama Islam, ilmu tasawuf sekarang sudah dapat diposisikan secara fleksibel, diamalkan dimana saja dan kapan saja, terutama dalam hal amalan zikir, dan amalan akidahnya. Ilmu tasawuf diperlukan untuk menghilangkan penyakit-penyakit hati yang banyak melanda masyarakat sekarang ini, seperti iri, dengki, sentimen, riya’ dan lain sebagainya, apalagi bagi masyarakat perkantoran, ada baiknya sedikit banyak mengetahui tentang tasawuf. Walaupun dalam sejarah ajaran Islam, ilmu tasawuf seringkali menghadapi serangan-serangan hebat yang bertubi-tubi, terutama terhadap cara, sistim didik dan suluknya. Akan tetapi justru, antara lain, dari “pertarungan” inilah maka akhirnya terlihat jelas bahwa orang-orang tasawuf banyak sekali berhasil dalam menundukkan penyakit-penyakit hati tersebut, orang-orang yang belajar tasawuf lebih banyak sukses dalam karirnya, sukses dalam rumah tangganya, sukses jalinan silaturahmi dengan keluarganya, tetangganya, sahabatnya dan masyarakatnya, dan yang perlu digarisbawahi dari itu semua, ternyata bahwa Dunia Islam dikaruniai Allah SWT dengan suatu pusaka yang tak ternilai lagi keindahan dan faedahnya, yaitu ilmu tasawuf.

Ada pendapat bahwa tasawuf itu adalah sesuatu yang asing atau bid’ah yang ditambahkan orang ke dalam ajaran agama Islam. Apa sebenarnya tasawuf itu? Dari manakah asalnya? Kemanakah tujuannya? Pertanyaan ini sebenarnya sudah lama dijawab oleh para ulama kita rohimahumullah.

Ibnu Choldun menulis tentang ilmu tasawuf, sebagai berikut : “Ilmu ini adalah salah satu dari ilmu-ilmu syar’iyyah yang terjadi dalam agama Islam Asalnya, cara (tarekat) dari mereka itu memang pada sisi tokoh-tokoh besar dari para sahabat dan Tabi’in dan selanjutnya adalah tarekat hak dan hidayat. Pokoknya ialah tekun atas ibadah, bulat hati kepada Allah SWT, berpaling dari godaan dunia, zuhud (tidak cenderung) kepada kemewahan harta dan pengaruh duniawi, dan menyendiri di tempat sunyi untuk ibadah”. Hal demikian itu memang sudah umum dan biasa terjadi di kalangan para sahabat dan salaf (leluhur yang baik). Setelah meraja lela kecenderungan pada kemewahan duniawi dalam abad kedua hijriah dan yang kemudian sesudahnya, maka orang-orang yang tekun atas ibadah itu dikenal dengan nama golongan tasawuf.

Sebenarnya suatu kekeliruan besar pendapat yang mengatakan bahwa tasawuf itu sesuatu yang asing dan bid’ah yang dimasukkan orang ke dalam Islam dan ditempelkan pada risalah agama Islam. Sebab, pada hakekatnya tasawuf adalah suatu bagian yang esensial dari risalah Nabi Muhammad SAW, suatu jalan asli dalam Islam untuk menuju kedekatan dengan Allah yang diridhoi Allah.

Tasawuf itu adalah : inti sari yang terdalam dari isi agama Islam, kalau kita melihat dalam diri manusia, dimana terdapat hati, maka di dalam hati manusia itu ada G-spot yang baru-baru ini ditemukan oleh para ilmuwan barat, maka tasawuf itu adalah G-spotnya. Atau kalau kita melihat pada otak manusia, dimana di sana terletak Kecerdasan Intelijen, Kecerdasan Emosi, dan Kecerdasan Spiritual, maka tasawuf adalah kecerdasan spiritualnya. Karena tasawuf itu merupakan hakekat sebuah iman dan buah yakin dari faham ke-Islaman. Dengan perkataan lain, tasawuf itu adalah : tangga tertinggi dari semangat, ide dan cita-cita ke-Islaman seseorang; akhlak yang mulia, merupakan sisi gemilang yang paling sempurna dari norma peradaban dan contoh-contoh pergaulan dalam kehidupan sehari-hari yang diwujudkan dalam tata cara penghambaan diri kepada Sang Pencipta Yang Maha Mulia. Tasawuf adalah pusaka yang diwarisi oleh para Sahabat dari Rosulullah SAW. Pusaka ini diterima dan diamalkan oleh para Tabi’in secara turun temurun dan berkesinambungan serta bersinergi antara satu dengan lainnya. Mereka itulah pemimpin-pemimpin tasawuf Islam sebelum ada nama ‘sufi’ (ahli-ahli tasawuf), meskipun kemudian ada golongan dari mereka yang dikenal dengan nama ‘ubbad’ (ahli ibadah), atau ‘zuhhad’ (ahli zuhud). Jadi nama ‘sufi’ dan ‘tasawuf’ itu dipergunakan orang setelah lama waktu berjalan dari zaman Rosulullah. Dengan kata lain nama tasawuf datangnya kemudian.

Tujuan utama tasawufnya Sufi Anak Zaman adalah mengajak manusia untuk mampu sampai kehadirat Allah (secara bathin) dan meraih Ridha dan Kasih-Nya. Sesuai hadits Qudsi : “Sesungguhnya Langit-langit dan Bumi-Ku tidak berdaya menjangkau Aku, namun Aku telah dijangkau oleh Hati seorang Mukmin (yang Ku kasihi), yang telah menerima (Nurun Ala Nurin) dari Ku” (HR Ahmad dari Wahab bin Munabbih).

Coba kita tenggelam dulu ke masa yang silam, mengingat sejarah Islam di masa lalu, diwaktu dunia Islam masih dipenuhi dan dicekoki oleh falsafah-falsafah asing dari Yunani, Hindu dan sebagainya, tasawuf Islam sejati besar sekali jasanya dalam menyelamatkan iman dan akidah yang murni, bahkan memenangkannya. Kebathinan asing yang dibawa oleh orang Yunani, Hindu dan sebagainya tidak dapat mendobrak benteng Islam dan tasawufnya yang murni itu. Ilmu kebathinan asing dikenal di Dunia Islam dengan nama : Bathiniyyah Munharifah (kebathinan yang menyimpang) atau Tasawuf Dakhiil (tasawuf gadungan). Adapun tasawuf sejati tidak dapat dipalsu, sebab dasar-dasarnya jelas dari Kitab dan Sunnah Rosul.

Tasawuf Islam di masa lampau, dapat menyebarkan da’wah Islam tanpa senjata pedang. Tidak diragukan lagi suatu kenyataan sejarah, bahwa para Sufi itulah pembawa cahaya Islam dan hidayatnya ke Afrika ke segala penjurunya yang tidak pernah didatangi tentara Islam. Ulama Tasawuf pulalah yang mempunyai jasa terbesar dalam menyebarluaskan ajaran-ajaran Islam di Afghanistan, Iran, India, Malaysia, Pakistan, Indonesia, Filipina, Cina dan negeri-negeri lainnya yang jauh-jauh itu. Mereka berda’wah dengan memberi contoh suri tauladan yang baik dan akhlaq Islami yang murni. Banyak pula diantara mereka itu dengan suka rela mendirikan bangunan dan tinggal lama di perbatasan-perbatasan untuk mempertahankan kedaulatan Islam dengan berda’wah. Tasawuflah yang telah berdiri tegak menghadapi arus-arus ilhad (atheisme) dan serangan-serangan kemerosotan akhlaq. Tasawuf pula yang merupakan benteng yang kokoh kuat mempertahankan Islam dari serangan orang Tatar, fanatisme tentara Perang Salib dan angkara murka kaum imperialis.

Penulis tarikh, Al Bagdady, mencatat bahwa Almutawakkil (Khalifah yang berkuasa dari Bani Abbad di Bagdad) di waktu negara Islam dilanda peperangan, berseru kepada para ahli Futuwwah Sufiah, maka berdatanganlah mereka dengan cepat dari setiap pelosok, sehingga merekalah yang merupakan tentara yang unggul tak terkalahkan, merekalah yang menyelamatkan wilayah-wilayah Islam dan menjaga perbatasan.

Ketika situasi di Andalusia membahayakan kaum Muslimin, Imam Ghazaly, imam tasawuf yang amat masyhur itu segera menulis surat kepada raja muslim dari Maghribi yaitu Yusuf ibn Tasyfin yang bunyinya : “Pilihlah satu di antara dua, memanggul senjata untuk menyelamatkan saudara-saudaramu di Andalusia, atau engkau turun tahta untuk diserahkan kepada orang lain yang sanggup memenuhi kewajiban tersebut.

Dapat dicerna pula kalimat Imam Ghazaly yang berbunyi :”Perhatianku berpusat kepada jalan sufi, nyata sekali jalan ini takkan dapat ditempuh melainkan dengan ilmu dan amal. Pokoknya harus menempuh tanjakan-tanjakan bathin dan membersihkan diri. Hal ini perlu untuk mengosongkan bathin dan kemudian mengisinya dengan zikir kepada Allah ta’ala.

Jika ingin melihat pemikiran Imam Ghazaly silahkan kupas dan selami kreasinya seperti Jawahirrul Qur’an dalam ilmu tafsir, Kitabul Arba’in dalam bidang akhlak, Al Mustashfa dalam bidang ushul fiqih, Al Iqtishad fil I’tiqad dan Qawa’idul A’qaid dalam bidang teologi, Ayyuhal Walad dalam bidang pendidikan, Anwar Ad Darratul fikriyyah dan Mizanul Amal dalam bidang tasawwuf.

Dengan Al Mukasyafah, Hujjatul Islam ini telah menceburkan dirinya ke alam hidup tasawuf. Namun, dia tidak melibatkan diri ke dalam aliran “hulul” (inkarnasi), “ittihad” (manusia menyatu dengan Tuhan), “Wahdatul Wujud” (pantheisme) ataupun aliran-aliran tasawuf yang salah lainnya, yang sedang mekar pada waktu itu. Dia menentang keras orang tasawuf yang mengingkari acara ritual. Hal itu menurutnya perlu dikembangkan dan dipelihara, dengan catatan menanamkan arti dan makna serta rahasia amaliah dibaliknya, yang belum diungkapkan para Fuqaha. Aliran Imam Al Ghazaly inilah yang banyak diikuti oleh Sufi Anak Zaman.

Sufi Anak Zaman memulai penyelidikan atas diri mereka sendiri, dari diri sendiri ini maka akan merambah pada mengenal Tuhan, mereka mempunyai prinsip : “periksalah dirimu sendiri, sebelum orang lain memeriksa dirimu, kenalilah dirimu sebelum engkau mengenal orang lain, tanamkan ke dirimu dahulu baru mengajak orang lain. Siapa yang kenal pada dirinya sendiri, kenal pula ia akan Tuhannya. Berbeda dengan Psikologi yang menyelidiki jiwa orang lain, tentu saja ini tidak sejalan dengan ilmu tasawuf yang dimiliki oleh Sufi Anak Zaman.

Bagi seseorang yang sudah mengenal tasawuf, maka ia akan merasakan keindahan, keindahan itu akan sangat merasuk ke dalam sanubarinya, dalam setiap aktivitasnya, ibadahnya yang dirasakan hanyalah keindahan dan kenikmatan semata. Akan sulit bagi orang lain untuk merasakan indah itu, karena indah tidak dapat dijelaskan, hanya dapat dirasakan, akan tetapi sebagai contoh indah dapat diumpamakan dari sebuah gunung yang kelihatan dari jauh amat indahnya, tetapi cobalah naiki gunung tersebut, maka yang akan dilihat dan ditemui adalah lembah dan belerangnya serta tanah dan kayu-kayuan saja; tapi coba pula kita pandang ke bawah dari puncak gunung tersebut, indah pula jadinya khan? Ada orang lain yang melihat pula seperti itu, tapi dia tidak melihat apa-apa di sana. Jadi itulah indah. Dimanakah tempatnya indah itu berada? Entahlah, tapi dia pasti ada, tetapi tidak dapat ditunjukkan dimana dia berada. Dari indah itu, menimbulkan iman kepada Allah. Allah ada, tetapi tidak dapat ditunjukkan dimana Allah itu berada. Selanjutnya, dimanakah indah itu? Kalau demikian indah itu ada hubungannya dengan diri. Kalau ada indah pada diri kita, barulah kita dapat mengenal indah. Orang yang tidak mempunyai keindahan pada dirinya, tidak dapat diberi indah dan tidak dapat mengenal indah. Jadi indah hanya dapat dirasakan dari diri kita sendiri yang diperoleh berdasarkan rasa yang telah terolah untuk mengkaji estetika atau keindahan.

Dalam ajaran tasawuf hati atau kalbu merupakan organ yang sangat penting, karena dengan mata hatilah mereka merasa bisa menghayati segala rahasia yang ada dalam alam gaib dan puncaknya adalah penghayatan makrifat pada Dzatullah. Dengan demikian hati itulah yang alim terhadap Allah dan dia pula yang bertaqarrub pada Allah, dan hati pula yang beramal untuk Allah, dan dia pula yang berusaha menuju Allah, dan hati pula pembuka tabir untuk menghayati alam gaib yang berada di sisi Allah. Adapun anggota badan adalah khadamnya dan alatnya yang dipergunakan oleh hati, laksana sang raja memerintah pada hamba atau khadamnya, atau laksana gembala menghalau atau memimpin yang digembalakannya, atau sang tukang mempergunakan perlengkapannya untuk mengerjakan bangunan. Maka hati akan diterima oleh Allah apabila bersih dari segala sesuatu yang selain Allah, dan hati itu akan terdinding dari Allah apabila tertimbuni sesuatu yang selain Allah. Maka hati itu yang disuruh mencari Tuhan dan hati pula yang diperintah untuk ibadah dan yang tercelanya. Hati itu yang berusaha mendekatkan diri pada Allah, maka berbahagialah bila hatinya bersih dan sebaliknya tidak akan sampai pada Allah bila hatinya kotor dan tersesat. Hati pula yang taat sesungguhnya pada Allah, adapun gerak ibadah semua anggota badan adalah pancaran hatinya. Dia itulah kalbu (hati). Bila manusia kenal pada hatinya pasti kenal akan dirinya sendiri, dan bila kenal akan dirinya, pasti kenal akan tuhannya. Dan sebaliknya bila manusia tidak mengenal akan hatinya, pasti tak akan kenal dirinya, dan bila tak kenal akan dirinya, pasti tak akan kenal pada tuhannya. Dan bila seseorang tidak kenal akan hatinya, pasti tak akan kenal terhadap apa saja yang selainnya.

5

Diam-nya__Sufi Anak Zaman

Diam merupakan sarana yang paling tepat untuk mencapai kesempurnaan Ibadah. Ibadah adalah sarana yang paling utama untuk mempertemukan hati dengan Allah, mendidik nurani, dan perasaan yang lembut terhadap sesama makhluk-Nya. Bertemu dengan Allah adalah keinginan akhir yang menjadi tujuan setiap mukmin.

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah, berkat nikmat-Nya segala bentuk kebaikan bisa terwujud. Shalawat serta salam semoga tercurah kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW sebagai cahaya seluruh alam. Juga kepada keluarganya, sahabat-sahabatnya dan orang-orang yang mengikuti petunjuknya sampai hari akhir nanti.

Suatu saat, di tengah kesibukan pekerja kantoran yang melaksanakan tugasnya sehari-hari, nampak seorang eksekutif muda sedang mengerjakan shalat dhuha di sudut ruangan yang tidak begitu sempit, tapi tidak juga luas. Selesai shalat pemuda itu langsung menuju ke meja kerjanya kembali dan mengerjakan tugas-tugas rutinnya sebagaimana biasanya dengan penuh semangat dan cita rasa yang tinggi. Seseorang yang mengaku dan memproklamirkan dirinya sebagai mukmin, dia selalu menjaga ibadahnya dan lisannya untuk tertuju kepada Allah. Lisan harus tercegah dari pembicaraan yang tidak perlu. Dalam suasana kantor yang semakin kompleks sekarang ini selayaknyalah menjaga lisan dari perkataan-perkataan yang tidak bermakna, sehingga terhindar dari kebinasaan yang akan mendatangkan petaka. Pada saat berbicara hendaklah kita ingat akan Allah SWT, Tuhan Semesta Alam, jangan lupakan Dia, Sang Pencipta, sehingga suara yang kita keluarkan bersumber dari Allah, kekuatannya adalah kekuatan yang diberikan oleh Allah SWT. Oleh sebab itu jangan lupakan Dia, pujilah Dia, disetiap kesempatan dan keadaan, zikirlah atas segala kesempurnaan-Nya. Ini sejalan dengan sebuah hadits qudsi yang berbunyi : “Apabila hamba-Ku menghampirkan diri pada-Ku dengan suatu amalan yang lebih Aku cintai daripada sekedar mengamalkan apa-apa yang telah Kuwajibkan atasnya, dan terus menerus menghampirkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan yang baik, hingga Aku mencintainya, maka apabila Aku telah mencintainya, adalah Aku pendengarannya bila ia mendengar, Akulah penglihatannya bila ia melihat, adalah aku tangannya bila ia mengambil, Akulah kakinya bila ia berjalan, jika ia memohon niscaya Aku perkenankan permohonannya dan jika meminta perlindungan kepada-Ku pastilah Aku lindungi dia” (HR Bukhari). Kemudian dapat pula dikaji dari firman Allah yang berbunyi : “Bukan engkau (ya Muhammad) yang melontar/memanah/memukul/menyebut, melainkan Allah-lah yang melontar/memanah/memukul /menyebut” (QS Al Anfal : 17)

Tidak ada seorang manusiapun di dunia ini, kecuali akan mati, tidak pula seorang eksekutif, seorang buruh, seorang penulis, seorang petani, hasil akhirnya pasti akan mati. Sedangkan hasil kerjanya, karyanya, perbuatannya, amalnya akan tetap abadi dan dikenang sepanjang masa. Karena itu janganlah berbuat sesuka hati, janganlah mengerjakan suatu pekerjaan sekehendak nafsu, segala yang dilakukan dengan tangan kita jika ditujukan untuk menyenangkan dan beramal shaleh, dapat dilihat kelak di akherat berupa cahaya yang terang.

Untuk menjadi seorang pemeluk agama yang teguh, yang mengaktualisasikan dirinya sebagai Sufi Anak Zaman, tidak perlu harus meninggalkan pekerjaan sehari-hari, tidak perlu meninggalkan profesi kita, atau meninggalkan apa yang telah dijalani untuk mencari nafkah hidup, akan tetapi berbuatlah agar profesi yang kita dapati tersebut sesuai dengan tuntutan ajaran beragama, tiupkan ruh Islami dalam setiap pekerjaan yang kita laksanakan. Raihlah nuansa religius dalam setiap aktivitas kita. Seorang pemeluk Islam yang taat, tidak harus meninggalkan dunianya dan menuju akhiratnya semata-mata, dia harus menyeimbangkan kebutuhan dunia dan akhirat, karena kebutuhan dunia juga ada tanggung jawab akhiratnya. Mencari nafkah untuk anak dan isteri yang dikerjakan dengan ikhlas karena Allah Ta’ala, akan bernilai ibadah. Berkumpul dan bercengkrama dengan anak isteri yang menyenangkan hati mereka juga bernilai ibadah. Bergaul dengan sesama, dengan selalu mengedepankan adab dalam berbicara, adab sopan santun, menghormati yang lebih tua, dan mengasihi yang lebih muda, juga merupakan ibadah. Semoga Allah selalu memberikan kekuatan kepada kita dengan kebenaran, mengilhami kita dengan petunjuk dan menganugerahi kita dengan rahmat-Nya. Ditengah-tengah pergaulan berusahalah dan mintalah kepada Allah agar Allah SWT menjadikan kita orang-orang yang menegakkan perintah-Nya, berjalan dengan petunjuk Rasul-Nya, mengajak kepada syari’at-Nya, berjuang dalam kebenaran, hingga tidak ada musuh-musuh yang mampu mendatangkan bahaya sampai ajal menjelang.

Dalam lingkungan perkantoran sering kita menjumpai seseorang yang ingin meraih sukses dengan cara-cara yang tidak diperkenankan agama, misalnya sikut sana sikut sini, menjelekkan si A untuk mendapatkan pujian si B. Bergunjing ke sana ke mari, dari meja teman yang satu ke meja rekan kerja lainnya. Bermalas-malasan, dengan selalu mengedepankan obrolan yang tidak bermanfaat, yang akhirnya akan menimbulkan permusuhan dan keceraiberaian diantara sesama teman kerja.

Apabila kita ingin meraih sukses dengan mendapatkan Ridho Allah, selayaknyalah kita memohon kepada-Nya. Tidak meminta kepada atasan, atau kepada orang lain. Diam akan membuka pintu langit bagi seorang hamba yang ingin amal salehnya diterima oleh Allah SWT. "Diam pada saat yang tepat merupakan karakter orang-orang besar, sebagaimana berbicara pada saat yang tepat merupakan tabiat termulia." (Abul Qasim Al Qusyairi)

Sesungguhnya orang yang banyak ngomong itu bisa mengeraskan hati. Dalam hal ini Umar bin Khattab ra pernah mengatakan : “takutlah olehmu akan banyak ngomong selain mengingat Allah, karena hal itu bisa mengeraskan hati”.

Diam adalah perbuatan baik yang paling mudah dilakukan dan dikerjakan oleh semua orang karena tidak perlu mengeluarkan tenaga dan biaya. Namun sedikit sekali orang yang benar-benar serius menjalaninya dalam kehidupan sehari-hari. Padahal, jika dicermati dari beberapa perkataan Nabi Muhammad SAW, ternyata dalam diam terkandung banyak keutamaan. "Diam itu kearifan tetapi sangat sedikit orang yang melakukannya," demikian sabda Rasulullah SAW, juga "Barangsiapa yang diam, dia pasti selamat." Semua orang pasti bisa diam. Tapi diam dengan alasan tepat dan pada saat yang tepat untuk tujuan yang tepat, itulah yang menjadi sulit. Di sini tingkat kecerdasan dan penguasaan diri seorang sufi anak zaman diuji. Rasulullah SAW bersabda, "Diantara tanda kecerdasan seseorang adalah sedikit berbicara dalam perkara yang tidak berguna baginya." Sedangkan Abul Qasim Al Qusyairi mengungkapkan bahwa diam pada saat yang tepat merupakan karakter orang-orang besar, sebagaimana berbicara pada saat yang tepat merupakan tabiat mulia." Demikian pula jika berbicara pada tempat yang tepat dengan tujuan yang tepat akan meningkatkan derajat bagi orang yang melakukannya, semisal bagaimana berbicara di atas podium, bagaimana berbicara di hadapan umum, berbicara dengan anak-anak, berbicara dengan orang tua dan lain sebagainya, diperlukan tingkat kecerdasan tersendiri.


Walau demikian, diam pun bisa berubah menjadi sesuatu yang buruk bila dilakukan pada saat tidak tepat dan tidak mendasarkannya pada ilmu. Abu Ali Al-Daqqaq mengungkapkan bahwa orang yang tidak mau mengatakan yang benar adalah setan yang bisu." Na'udzubillah.
Bagaimana caranya agar kita bisa diam secara tepat atau berbicara secara tepat? Imam Syafi'i memberikan jalan keluar. "Apabila seseorang akan bicara, maka ia harus berpikir terlebih dulu. Apabila telah jelas bahwa ucapannya tidak akan memudharatkan, maka berbicaralah. Dan apabila telah jelas bahwa ucapannya akan membawa kemudharatan, atau dia ragu tentang bahaya tidaknya, maka diamlah."

Jadi, berbicara atau diamnya kita harus disandarkan pada aspek kemanfaatan dan kemudharatan. Bila itu bernilai baik, bicaralah. Bila bernilai buruk, maka diam lebih utama. Di sinilah kualitas keimanan seorang sufi anak zaman akan terlihat. Sebab di antara tanda baiknya keislaman seseorang adalah meninggalkan apa yang tidak berguna. Rasul bersabda, "Di antara (ciri) sempurnanya keislaman seseorang adalah meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat baginya." (HR Tirmidzi).

Oleh karena itu marilah kita bersama-sama membiasakan diri untuk diam, namun tekun berzikir (mengingat) Allah di waktu pagi dan sore, dalam keadaan berdiri, duduk maupun berbaring. Jangan pergunakan waktu senggangmu hanya untuk ngomong dengan teman dengan obrolan yang tidak menentu arahnya.

Firman Allah : “Orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi, seraya berkata :”Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka” (QS Ali Imran : 191).

Firman Allah : “Ingatlah, hanya dengan zikir (mengingat) Allah lah hati menjadi tenteram” (QS Ar Ra’ad : 28).

Seorang mukmin sewajarnyalah dalam mencapai cita-cita hidup harus selalu berpegang pada tali Allah, “Ihdinas Syiritol Mustaqiim”, harus benar-benar ditanamkan dalam dirinya, maka Allah akan memberikan yang terbaik bagi hamba-Nya yang mengamalkan apa yang telah diikrarkan dalam shalatnya.

Ketahuilah bahwa hati dan balatentaranya memiliki kondisi dan sifat-sifat yang sebagian diidentikkan dengan budi pekerti buruk dan sebagian lain disebut akhlak terpuji. Budi pekerti terpuji akan mengantarkan pada kebahagiaan, dan akhlak buruk mengantarkan pada kehancuran dan siksa. Semua ini terdiri dari empat jenis, yaitu akhlak setan, akhlak binatang jinak, akhlak binatang buas dan akhlak malaikat.

Jika kita mengetahui kemuliaan, kehormatan, kesempurnaan, keindahan dan keagungan yang kesemuanya itu bersumber dari Allah SWT, maka seharusnya kita menyadari bahwa esensi hati adalah esensi yang paling mulia, yang semua itu telah dianugerahkan kepada kita dan kelak akan ditarik kembali oleh Sang Penciptanya, yang memberikannya, dan kita justru tidak memintanya, malah mengabaikan dan menghilangkannya, maka tentulah kita nantinya akan sangat menyesal dan termasuk ke dalam orang-orang yang merugi di hari kiamat.

Dan dari Allah jua apa-apa yang baik dan yang buruk, yang manfaat dan yang mudarat, yang iman dan kekufuran. Dan bahwanya tidak wajib bagi Allah berbuat sesuatu untuk makhluknya. Dan orang yang mendapat ganjaran, adalah karena karunia-Nya dan yang mendapat siksaan adalah karena adilnya Allah.

Oleh sebab itu lebih baik kita diam dalam menyikapi suatu persoalan, jika kita tidak punya solusi untuk menyelesaikannya, daripada kita hanya akan memperkeruh suasana buruknya. Lebih baik kita diam disetiap kesempatan, daripada berbicara yang tidak ada isinya, berbicara yang hanya akan menyakiti hati orang lain saja, atau saling bersilang pendapat yang tiada berkesudahan. Seorang Sufi Anak Zaman dituntut untuk senantiasa bersikap diam, dan hanya berbicara pada saat ia memang dibutuhkan untuk berbicara, atau apa yang akan disampaikannya hanyalah demi suatu tujuan kebaikan semata, yang bersumber dari dan karena Allah Ta’ala. Seorang sufi besar Thawus Al Yamani berkata, "Lidahku adalah binatang buas. Kalau aku lepaskan dia, dia akan memakanku." Wahab bin Munabbih menyebutkan, "Wajiblah buat orang yang berakal untuk bertindak arif dalam mengetahui keadaan zamannya dan menjaga lisannya serta memperhatikan urusannya." Sedangkan Hasan Al Bashri berkata, "Belum sempurna agama seseorang sebelum dia menjaga lisannya."

Demikian sekelumit uraian tentang Diam-nya_Sufi Anak Zaman. Mudah-mudahan Allah SWT selalu melimpahkan Rahmat dan Ridho-Nya kepada kita semua. Amin.

Sufi Anak Zaman

Ya Allah,

Kembangkan senyumku untuk semua makhluk ciptaan-Mu

Biarkan setiap hari menemani sinar wajahku

Buatlah semua yang memandangku merasakan kesejukan di sanubarinya

Dari setitik cahaya yang Engkau beri pada ruh-ku

Jadikan senyumku senjata merajut ukhuwah-Mu

Sehingga senyumku membangkitkan rasa syukur akan karunia-Mu

Jadikanlah ia galah menuju tali-Mu

Bekukan lidahku sepadat-padatnya

Perlihatkanlah mataku pada hamparan luas samudra-Mu

Sembunyikan rahasiaku dari segala penglihatan kasat mata yang akan membuka aibku

Senyumku

Hanya Engkau sajalah yang memberikan kekuatannya

Yang ke arahnya sulit sekali mendapatkan jalan

Aku........

Masih mencari makna-makna................

Untuk menjadi seorang Sufi Anak Zaman hendaklah kita dapat memberikan tiga hal pokok ini kepada orang lain yang ada di sekitar kita : Jika kita tidak bisa memberikan manfaat kepadanya, jangan memberi mudhorat. Jika tidak bisa membahagiakannya, jangan menyedihkannya. Jika tidak bisa memujinya, jangan mencelanya. Oleh sebab itu senjata paling utama dalam menghadapi ketiga hal yang tersebut di atas adalah selalu menghiasi diri dengan senyum yang tulus, jujur dan penuh cahaya keimanan.

Manusia bisa dikatakan mulia apabila ia digolongkan ke dalam orang yang suci dari kerisauan, dan ia dipenuhi dengan pikiran kontemplatif, sehingga ia akan dapat menempati singgasana yang bertahtakan emas dan mutiara. Untuk memisahkan diri dari perilaku buruk manusia pada umumnya, dengan mengekang sifat kemanusiaanya dan menjauhkan diri dari bisikan-bisikan nafsu, lalu kemudian menempatkan dirinya pada sifat-sifat kerohanian dan selalu terkait dengan ilmu-ilmu hakikat serta mengikuti syariah Rasulullah. Maka hal tersebut dapat ia tunjukkan dari senyum yang dia berikan kepada setiap makhluk Allah yang senantiasa berada dalam kejernihan hati, hari-harinya selalu bersih dari kerisauan. Oleh sebab itu berusaha dan berupayalah untuk merealisasikan keikhlasan dan kejujuran serta sering menyembunyikan amal perbuatan dengan hal lain, dan meneladani sifat-sifat Rasulullah, salah satunya adalah mengikuti senyum yang dimiliki oleh Rasulullah kepada para sahabat, pengikutnya, keluarganya bahkan musuhnya sekalipun.

Seseorang yang berpenampilan tenang, mempunyai ilmu yang luas, memiliki kedudukkan yang tinggi dalam pemerintahan, mempunyai profesi yang berpengaruh dalam masyarakat, atau mempunyai usaha yang banyak dan menyerap tenaga kerja berlimpah, namun ia selalu mengeluarkan suara yang empuk dan nikmat didengar dan tentu saja selalu menghiasi wajahnya dengan senyum yang keluar dari hati, maka senyum tersebut akan melekat pula di hati orang-orang yang menerimanya. Jika kita gampang memberikan senyum kepada orang lain dalam setiap urusan dan keadaan, maka yang paling mudah terlintas dalam ingatan orang lain terhadap kita pastilah senyumnya. Senyum yang tulus, manis dan ikhlas, akan menampakkan ketampanan atau kecantikan diri seseorang yang memilikinya.

Seorang pelayan masyarakat yang bekerja pada kantor pemerintahan, dalam keadaan penat, capek, sibuk, lantas kedatangan tamu, dia dengan suka cita menampakkan senyumnya, seolah-olah semua kepenatan tubuhnya hilang dan tampak segar, tentu saja Allah SWT tak akan menyia-nyiakan hamba-Nya yang seperti ini, aliran darahnya langsung bergulir dengan lancar menyebabkan cahaya wajah menjadi cerah dan berseri-seri. Seorang guru yang selalu menghiasi bibirnya dengan senyum ketika sedang mengajar, tentulah ia akan banyak disukai oleh murid-muridnya, dan ini tidak berarti akan menghilangkan wibawa sang guru pada si murid, malah sebaliknya para murid akan semakin segan dan patuh pada sang guru. Seorang pegawai bank yang selalu menyunggingkan senyum tulus pada saat melayani para nasabah, tentulah akan sangat berpengaruh pada kepuasan hati nasabahnya sehingga memantapkan mereka untuk kembali bertransaksi pada bank tersebut. Seorang ibu rumah tangga yang selalu menanti suaminya pulang bekerja dengan seulas senyum ikhlasnya, akan membuat suaminya ingin cepat-cepat sampai ke rumah setiap pulang kerja. Seorang tukang cuci pakaian yang selalu memberikan senyum tulusnya kepada majikan, akan mendapatkan seorang majikan yang berhati lembut dan suka menolong dalam segala persoalan. Jika kita menyadari dengan penuh keyakinan, bahwa senyum itu adalah sekecil-kecilnya sedekah, maka apabila hal-hal yang kecil tersebut kita kumpulkan, tentulah ia akan bertambah banyak dan menjadi besar. Begitu besar pengaruh senyum dalam kehidupan sehari-hari.

Senyum selain diganjari oleh Allah SWT dengan pahala, ia juga merupakan menjadi jalan terbaik untuk menuju jalan cinta terhadap sesama hamba Allah. Dan cinta merupakan karunia dari Sang Pencipta, Allah SWT, yang diberikan-Nya tanpa batas, ruang dan waktu bagi setiap hamba. Cinta yang terjalin, antar sesama manusia, yang bersaudara, seiman, senasib, sepenanggungan akan menimbulkan terjalinnya rasa bersatu dan bersaudara yang agung dan mulia. Bagi seorang yang sudah tidak memiliki lagi rasa cinta, dapat dikatakan hidupnya sudah dihinakan oleh Allah Azza wa Jalla, hal ini dapat kita lihat, pada seseorang yang telah melupakan tali persaudaraan, tali vertikal dan horizontal, sehingga menyebabkan timbulnya keceraiberaian diantara kaum mukmin, bahkan terkadang sesama saudara “sepertalian”, lebih parah lagi menimpa orang tua dan anak. Hidupnya akan terasa asing dengan Tuhannya, kenikmatan iman dan beribadah tidak diperolehnya. Keindahan harta benda yang dimiliki tak dapat dirasakannya. Kehinaanlah yang didapatnya. Seorang mukmin yang bisa menjaga Rahmat Allah, dia akan menjadikan ukhuwah (persaudaraan) sebagai karakter (ciri) kaum Mukminin di dunia dan di akhirat. Karena Allah Ta’ala telah berfirman : “Sesungguhnya orang-orang Mukmin adalah bersaudara” (QS Al Hujuraat : 10).

Jalinan ukhuwah antar sesama kaum Mukminin selayaknyalah berlandasakan pada iman dan akidah yang berdiri di atas hamparan luas “al hubb fillah” (cinta karena Allah), yang merupakan tali iman terkuat yang dapat dimiliki oleh seorang mukmin yang selalu beriman dan beramal shaleh. Rasul bersabda : “tali iman terkuat ialah bersahabat karena Allah, memusuhi karena Allah, cinta karena Allah, dan marah karena Allah Azza wa Jalla” ( Hadits Riwayat Ath Thabrani).

Keyakinan kita untuk selalu mengutamakan jalinan ukhuwah antar sesama kaum Mukminin yang sedemikian besarnya, membuat Allah tak segan-segan memberikan karunia dan pahala besar, Allah akan mendekatkan para pelakunya keharibaan-Nya dan Allah akan menyerahkan cinta-Nya kepada hamba-Nya dengan cintanya orang-orang yang mencintai-Nya. Diantara tujuh kelompok yang dinaungi Allah di bawah naungan-Nya pada saat tidak ada naungan selain naungan-Nya ialah, “Dua orang yang saling mencintai karena Allah keduanya bertemu dan berpisah karena-Nya” (Hadits Riwayat Al Bukhari).

Dalam hadits qudsi Allah Berfirman: “Orang-orang yang saling mencintai karena keagungan-Ku mempunyai mimbar-mimbar dari cahaya. Membuat para nabi dan syuhada’ iri kepada mereka” (Hadits Riwayat Imam Ahmad).

Kemudian dalam hadits qudsi yang lainnya Allah berfirman : “Cinta-Ku berhak dimiliki orang-orang yang saling mencintai karena Aku. Cinta-Ku berhak dimiliki orang-orang yang saling menyambung hubungan karena Aku. Cinta-Ku berhak dimiliki orang-orang yang saling menasihati karena Aku. Cinta-Ku berhak dimiliki orang-orang yang saling mengunjungi karena Aku. Dan cinta-Ku berhak dimiliki orang-orang yang saling memberi karena Aku” (Hadits Riwayat Imam Ahmad).

Banyak orang-orang mukmin yang telah terjangkit oleh penyakit-penyakit hati sering melupakan saudaranya sendiri, sering melupakan tetangga, teman, kerabat, bahkan tak jarang orang tua yang telah melahirkan dan memelihara mereka dari kecil hingga dewasapun tak terelakkan menjadi yang terlupakan. Mereka disibukkan oleh urusan-urusan dunia yang tidak pernah berkesudahan kecuali mati. Mereka sering diusik oleh perasaan tinggi hati, sombong, ujub, merasa lebih hebat dari yang lain, merasa benar sendiri, hingga kepongahan dan kecongkakannyalah yang timbul kepermukaan. Jika ada orang lain yang dianggap tidak bersesuaian pola fikir dan pendapat, akan dianggap musuh, dan perlu disingkirkan dari pandangannya. Mereka senang melihat orang lain susah, dan mereka juga susah jika melihat orang lain senang.

Berapa banyak orang-orang disekeliling kita yang bermusuhan dengan tetangganya? Berapa banyak orang-orang disekeliling kita yang tidak bertegur sapa dengan teman sekantornya? Dengan saudaranya sesama mukmin? Dengan saudara sekandungnya? Bahkan terhadap kedua ibu bapaknya, atau darah dagingnya sendiri?

Betapa besar janji Allah pada hamba-Nya untuk memberikan ganjaran kepada orang yang selalu menjaga hubungan ukhuwah dengan sesamanya, betapa besar kemuliaan yang dijanjikan Allah untuk diberikan kepada hamba-Nya yang dapat menjaga dan membina hubungan baik dengan sesamanya.

Ayat yang diturunkan Allah sehubungan dengan kecintaannya pada jalinan ukhuwah dapat kita lihat pada Al Qur’an Surat Al Hujuraat : 11 – 12, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka yang diolok-olok lebih baik dari mereka yang mengolok-olok dan jangan pula wanita-wanita mengolok-olok wanita-wanita lain, karena boleh jadi wanita-wanita yang diperolok-olokan itu lebih baik dari wanita yang mengolok-olok, dan janganlah kalian mencela diri kalian sendiri dan janganlah kalian panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk, seburuk-buruk panggilan ialah panggilan yang buruk sesudah iman dan barang siapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim. Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa dan janganlah kalian mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kalian menggunjing sebagian yang lain; sukakah salah seorang di antara kalian makan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kalian merasa jijik kepadanya dan bertakwalah kepada Allah; sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang”.

Dapat pula kita lihat pada hadits qudsi yang diriwayatkan Muslim dari Abu Hurairah : “Seseorang mengunjungi saudaranya di desa lain, kemudian Allah Ta’ala menyuruh salah satu malaikat menunggu di jalan yang akan dilalui orang tersebut. Ketika orang tersebut tiba di tempat malaikat menunggu, malaikat berkata, “Engkau hendak pergi ke mana?” Orang itu menjawab, “Aku akan pergi kepada salah seorang saudaraku di desa ini. “Malaikat bertanya lagi, “Apakah engkau mempunyai urusan padanya yang hendak engkau selesaikan?” Orang itu menjawab, “Tidak, Aku hanya mencintainya karena Allah Ta’ala”. Malaikat berkata, “Aku utusan Allah kepadamu guna membawa kabar gembira bahwa Allah mencintaimu sebagaimana engkau mencintai saudaramu tersebut karena-Nya”.

Dalam satu riwayat, Nabi SAW menjadikan ukhuwah sebagai fundamental utama untuk membentuk “basis beriman” yang diperintahkan kepada beliau. Beliau tahu betul bahwa ukhuwah adalah kebutuhan mendesak untuk mendirikan basis beriman, yang merupakan cikal bakal umat Islam dalam merealisasi moral kalimat “laa ilaaha illallah”. Dengan ucapan “laa ilaaha illallah” yang mendalam di hati, akan mampu menciptakan komitmen kepada apa yang diturunkan Allah. Sehingga bagi seorang mukmin sejati, akan termaknai apa saja yang datang dari Allah, maka hanya kepada Allah jualah semuanya akan kembali.

Seorang Eksekutif Muda, Pengusaha Sukses, Pekerja yang Profesional di bidangnya, atau apa saja yang digeluti untuk tetap mengokohkan eksistensi diri baik dihadapan masyarakat sekitarnya maupun kedudukannya dihadapan Allah SWT, haruslah selalu berpegang teguh pada Al-Quran dan Al Hikmah (Sunnah). Keteladanan yang telah ditunjukkan oleh Rasulullah SAW dalam hal berjabat tangan, berinteraksi, memberikan pengarahan permanen, cinta kepada para sahabat, kerabat dan handaitaulan, yang mengalir dari lubuk hati terdalam, sangat peduli dan kooperatif dengan setiap orang, sehingga menimbulkan perasaan dari orang lain bahwa dia paling dekat dengan kita. Dari ukhuwah yang baik inilah akan tercipta suatu bangunan yang kokoh berupa iman dan akhlak yang mulia, yang tak akan tergoyahkan oleh terjangan-terjangan badai sekelas Tsunami sekalipun.

Barangkali perlu kita mengingat kembali kalimat mulia yang keluar dari mulut sahabat Rasulullah, Umar bin Khathab yang berkata, “Bertemu dengan ikhwah (saudara seagama) itu menghilangkan duka lara”. Kemudian dapat kita renungkan pula pernyataan yang keluar dari lubuk hati sahabat lainnya, yaitu Sufyan ra ketika ditanya, “Apa itu air kehidupan?” Sufyan menjawab, “Pertemuan dengan ikhwah (saudara seagama)”. Yang lebih mengagumkan lagi adalah perkataan yang keluar dari Ibnu Al Mu’taz, “Barangsiapa mempunyai ikhwah (saudara seagama), maka mereka menjadi penolong baginya”.

Bagi kita yang hidup di zaman sekarang ini, di zaman yang penuh dengan intrik-intrik kehidupan, yang banyak dipengaruhi oleh kebudayaan kaum liberal, yahudi, ungkapan-ungkapan para sahabat tersebut, terasa sangat tepat dan benar. Dapat dibayangkan kenikmatan yang diberikan oleh Allah hanya dengan selalu menjalin ukhuwah terhadap saudara seagama saja rasanya kita sudah mampu menggapai dunia untuk merengkuh akhirat, apalagi jika kita dapat melestarikan jalinan ukhuwah tidak hanya kepada saudara seagama saja, tetapi terhadap saudara “sepertalian”, alangkah indahnya nikmat ibadah yang dapat kita rasakan dari Allah SWT.

Sebagai manusia, kita tidak dituntut berbangga dengan diri sendiri, apalagi lebih suka hidup menyendiri dan jauh dari saudara-saudaranya. Ingatlah, bahwa syetan selalu berusaha menyesatkan kita dan ia senang sekali jika saudara kita marah, menjauhkan diri dari kita, memusuhi kita, bahkan terkadang dengan bujuk rayunya ia mampu membuat manusia untuk membunuh dan menghilangkan nyawa saudaranya sendiri. Kita tidak perlu merasa tinggi hati, merasa paling benar dan merasa tidak layak berdampingan hidup dengan orang lain dikarenakan ekonominya lebih rendah dari kita, pola fikirnya lebih sempit dari kita, padahal justru karena kita berfikir begitu kitalah yang memiliki pola fikir yang lebih sempit dari mereka. Kita tidak perlu menjauhkan diri dari saudara-saudara kita, apalagi ingin menyingkirkannya dari kehidupan kita, karena merasa dia tidak diperlukan dalam keluarga kita, karena kitalah yang paling hebat dalam keluarga kita, karena kitalah yang ingin dipandang berjasa dalam keluarga kita. Semua itu tidak ada gunanya dihadapan Allah SWT. Bahkan makhluk Allah yang lainpun akan ikut mengutuk perbuatan tersebut.

Sebagai seorang mukmin sejati, menjalani kehidupan seperti diatas, adalah sesuatu yang tidak akan sanggup dia lakukan. Seorang Sufi Anak Zaman sejatinya harus mampu mengaktualisasikan jati dirinya secara jujur dan benar dihadapan masyarakatnya. Ia harus selalu bersabar atas kehidupan, ia harus belajar untuk selalu mencintai dan memupuk cinta itu sebagai suatu kebutuhan, sehingga mendapatkan segala yang bermanfaat, perkataan manis dan persahabatan yang menyenangkan dari saudara-saudara seagama ataupun saudara “sepertalian”nya.

Sekarang ada problem serius yang mengancam eksistensi kehidupan manusia, yaitu hilangnya keharmonisan di antara manusia, hingga seolah-olah setiap kali zaman berganti dan modernisasi berkembang pesat, maka pemutusan hubungan; kekerabatan atau persaudaraan, juga menjadi meningkat tajam. Ada perbedaan jauh antara kondisi kita sekarang dengan kondisi generasi pendahulu kita, keharmonisan dan persaudaraan sesama mereka. Tidak sama antara masyarakat di mana keharmonisan, kasih sayang, persaudaraan, cinta, berkembang luas di dalamnya, setiap orang merasa dekat satu dengan lainnya dan kedekatan mereka tanpa dihinggapi depresi di dalamnya, berbeda dengan masyarakat saat ini, di mana di dalamnya setiap orang hidup egois, merasa keberatan jika harus bertemu dengan seseorang atau jika seseorang harus bertemu dengannya, ia merasa tertekan jika berhadapan dengan orang lain, setiap orang dari mereka hidup menyendiri dari orang lain, dan hidupnya hampa dari perasaan lembut dan kerinduan yang tinggi. Setiap kali bertemu orang lain, seakan-akan kerugianlah yang akan didapatnya. Seakan-akan orang lain akan merongrong kekayaan yang dimilikinya, atau memanfaatkan jabatan atau profesi dirinya. Fakta yang terjadi sekarang ialah umat Islam yang semestinya menjadi seperti satu jasad, tapi berubah menjadi banyak jasad hingga tidak bisa dihitung dan hidup dalam kehidupan menjemukan, gersang, dan keras tanpa ada spirit dan makna di dalamnya.

Manusia tidak bisa menangkap dan menghadirkan keharmonisan sekaligus, namun ada sejumlah pencetus yang menjadi sebab hilangnya keharmonisan. Betapa seringnya seseorang tidak memperhatikan sebagian urusan sahabatnya, tetangganya, saudaranya. Akibatnya, ia merasa keberatan terhadap sahabatnya, keberatan menerima saudaranya, keberadatan melihat tetangganya dan keharmonisan di antara keduanya menjadi sirna. Karena itu, kita perlu mengetahui kiat bagaimana menjaga keharmonisan, meningkatkannya diantara kita, dan mengetahui apa saja yang merusak keharmonisan, agar kita bisa menjauhinya dan waspada terhadapnya.

Ada banyak hal yang perlu diperhatikan seseorang yang ingin tetap menjaga keharmonisan dengan sesama makluk ciptaan-Nya. Misalnya kita tidak boleh memandang remeh pengaruh perbuatan atau tindakan, dan sikap kita terhadap jiwa orang-orang yang hidup di lingkungan kita. Kita tidak boleh bersikap yang memojokkan orang lain, baik itu saudara seagama ataupun saudara “sepertalian”, juga masyarakat di lingkungan kita. Dalam tatanan kehidupan sosial tidak diperlukan sikap sombong, tidak mau mengakui kesalahan, tidak mau meminta maaf atas kekhilafan yang diperbuat, atau kalaupun meminta maaf itu tidak diteruskan ke dalam hati, hanya sambil lalu saja, lewat saja dari mulutnya. Setelah itu hatinya berkata : “terserah, yang penting aku sudah minta maaf”. Masya Allah. Hal-hal seperti ini harus kita jauhkan dan singkirkan dari fikiran kita. Supaya syetan tidak merajalela menggoda kita. Semestinyalah jika meminta maaf atas suatu kelalaian haruslah diikuti dengan perbuatan dan jalin terus silaturahminya, jangan datang pada saat meminta maaf saja. Biasanya silaturahmi di hari pertama bagi yang sedang bermasalah, belumlah mencairkan kekakuan atau kebekuan hubungan. Oleh sebab itu harus ada usaha untuk selalu bertemu dan bersilaturahmi, sehingga kebekuan tersebut akan segera mencair. Jika kita berbuat demikian, Insya Allah, perbuatan kita yang tanpa sadar menyakiti hati atau bahkan menghancurkannya lambat laun akan memuai dan bagaikan jamur di musim hujan, akan tumbuh nuansa-nuansa baru yang menyegarkan. Lakukanlah selalu dengan menebar senyum dan merajut ukhuwah, Insya Allah hubungan kita dengan saudara seagama atau saudara “sepertalian” akan menjadi harmonis, hasil lainnya yang tak kalah penting adalah : pondansi iman kita akan semakin kokoh.

Sufi Anak Zaman

“Ya Allah, segala puji syukur kami haturkan kehadirat-Mu. Segala keyakinan kami akan Engkau, tidak dapat dibeli oleh kilauan intan permata. Suara hati yang kami persembahkan pada-Mu, bukan sekedar ingin menjadi pemelihara sifat-sifat-Mu, Belenggu yang telah membendung sukma ini, perlahan terkuak oleh hentakan jiwa yang tak kuasa untuk tidak memuji syukur atas segala karunia dan nikmat yang telah Engkau limpahkan. Wahai Allah Tuhan Yang Pemberi Rahmat, Yang Maha Pengasih, Maha Terjaga Kelembutan-Mu terhadap diri ini, meski Engkau tahu segala kemaksiatan yang kami perbuat. Kami dapatkan kemurahan Berkah-Mu, meski semua kesalahan kami nampak jelas di mata-Mu. Kami dapatkan rezeki yang berlimpah dari-Mu, meski kami telah mendurhakai-Mu. Engkaulah dzat yang Maha Luhur, Maha Dekat, Maha Tampak, Awal dan Akhir. Engkau tetap mengasihi kami, meski kami telah menebar angkara di bumi-Mu ini. Engkau begitu dekat dengan kami, bahkan lebih dekat daripada urat leher kami sendiri”.

Banyak diantara kita masih memandang bahwa kehidupan seorang sufi itu hanya terfokus dari mesjid ke mesjid, atau dari tempat suluk yang satu ke tempat suluk lainnya. Bahkan lebih ekstrim lagi, ada yang memandang seorang sufi itu hidupnya terlunta-lunta dari satu tempat pertapaan menuju tempat pertapaan berikutnya. Sehingga orang hanya mengenal sufi sebagai seorang yang hidupnya terasing karena mengasingkan diri dari pergaulan dunia, bahkan terkadang orang memandangnya tak lebih dari seorang pengemis.

Dalam kehidupan di zaman modern ini, segala fenomena kebobrokan peradaban yang kita saksikan, semakin lama semakin parah, silih bergantinya zaman dan kejadian, juga banyaknya keberpalingan dan kelemahan angan serta cita-cita yang berlebihan telah menggiring manusia pada segala persoalan yang menghadapkannya pada kesengsaraan ini. Hari demi hari wabah penyakit terus bertambah sebagai makanan empuk kejelekan layaknya dosa. Jiwa memang selalu tertarik dengan segala keanehan yang belum biasa dilihat serta pada hal-hal mistis (unseen) yang belum pernah dialami, maka orang yang lemah dan bodoh pun selalu akan dengan mudah terjebak di dalamnya dan orang yang lamban akalnya pun akan terpedaya melihat prinsip-prinsip kehidupan yang ditawarkan dengan segala pernak-pernik yang menakutkan bagi orang-orang yang beriman dan berakal.

Dari Abu Hurairah bahwa Rasul bersabda : “Sesungguhnya sebagian daripada ilmu itu ada yang diumpamakan seperti perhiasan yang indah dan selalu tersimpan yang tidak ada seorangpun mengetahui kecuali para Ulama Allah. Ketika mereka menerangkannya maka tidak ada yang mengingkari kecuali orang-orang yang biasa lupa (tidak berzikir kepada Allah) (HR Abu Abdir Rahman As Salmy)

Banyak orang beranggapan bahwa seorang sufi itu atau orang yang berkecimpung dengan ilmu Tasawuf itu sesat. Hal ini tidak dapat dipungkiri karena sikap para sufi yang banyak memperlihatkan keanehan dan nyeleneh, jauh dari peradaban modern. Namun bagi penulis jika ilmu tasawuf itu dikaji lebih modern dan tetap berpedoman pada Al Qur’an dan Hadits, maka tidak ada yang salah dalam ilmu tasawuf, karena ilmu ini juga mempunyai dalil yang kuat dari Al Qur’an dan Hadits yang sahih, dalil tersebut akan dikemukakan dalam buku ini satu persatu sesuai dengan maksudnya.

Buku ini penulis beri judul “Menebar Senyum Merajut Ukhuwah - Sufi Anak Zaman”. Ini ada filosofinya, “Menebar Senyum Merajut Ukhuwah” merupakan misi dari penulis, sedangkan “Sufi Anak Zaman” adalah visinya. “Sufi Anak Zaman” selalu mengikuti kemajuan zaman, dengan tidak melupakan tujuan utama hidup, yaitu untuk mengabdi dan beribadah kepada Allah SWT. Dengan “Sufi Anak Zaman”, bangkitkan semangat yang berbeda pada diri kita, asah kecerdesan spritual kita, jangan terpaku pada masa lalu, kalaupun harus melihat ke belakang, jadikanlah ia sebagai sarana evaluasi diri. Fikirkan yang terjadi saat ini, buatlah planning strategic yang matang, jadikan ia sebagai pedoman menuju harapan. Pandang jauh ke depan, lihat apa yang bisa diraih dan digapai di sana.

Bagi seorang “Sufi Anak Zaman” tidak ada ketabuan dalam memilih profesi atau bidang kegiatan yang diinginkan. “Sufi Anak Zaman” tidak mempunyai halangan yang menyebabkan dirinya membatalkan cita-citanya, selagi ia tetap berpegang pada kaedah dan syariat yang telah digariskan Islam. Ia bisa mengaktualisasikan dirinya sebagai seorang pemimpin, pekerja ataupun seorang entertainer, jika ia ingin bermaian musik, hatinya akan berkata : “Bermainlah musik, tapi harus tetap berpegang pada kaedah-kaedah Islam. Jadilah penyanyi, tapi harus menjadi penyanyi yang berjiwa Islam. Silahkan menjadi pemain sinetron, tapi harus menjadi pemain sinetron yang bernuansa Islami. Jadilah atlit, tapi atlit yang meniupkan ruh Islam.”

Sekarang, dalam buku ini, kita dapat mengenal lebih dekat, bagaimana kehidupan seorang “Sufi Anak Zaman” yang ternyata, hidupnya berada di lingkungan pekerjaan, di meja-meja seminar, di tengah-tengah khalayak ramai, bahkan tidak sedikit diantara mereka adalah seorang pemimpin, seorang pekerja yang tangguh dan ulet, seorang yang profesional dalam menjalankan bidang kegiatan yang dipilihnya, seorang yang tanpa pernah mengucilkan diri atau mengasingkan dirinya dari pergaulan dan masyarakat sekitarnya. Jangan pula berharap menjadi “Sufi Anak Zaman” akan menciptakan keajaiban-keajaiban yang terjadi pada diri kita, atau berharap kita memiliki kelebihan-kelebihan yang luar biasa, seperti yang biasa didapat oleh para wali, bagi “Sufi Anak Zaman” cukuplah merasakan nikmat manisnya beriman dan beribadah kepada Allah SWT.

Dalam buku ini penulis mencoba menyajikan kehidupan seorang sufi yang tetap mengukuhkan eksistensinya dalam kehidupan modern namun sarat dengan nilai religius, sehingga diharapkan dapat membawa perubahan dari kegundahan hati pada kemantapan akan kehadiran Allah SWT dalam setiap denyut nadi dan detakan jantung. Amin.