Senin, Agustus 25, 2008

Sufi Anak Zaman

Ya Allah,

Kembangkan senyumku untuk semua makhluk ciptaan-Mu

Biarkan setiap hari menemani sinar wajahku

Buatlah semua yang memandangku merasakan kesejukan di sanubarinya

Dari setitik cahaya yang Engkau beri pada ruh-ku

Jadikan senyumku senjata merajut ukhuwah-Mu

Sehingga senyumku membangkitkan rasa syukur akan karunia-Mu

Jadikanlah ia galah menuju tali-Mu

Bekukan lidahku sepadat-padatnya

Perlihatkanlah mataku pada hamparan luas samudra-Mu

Sembunyikan rahasiaku dari segala penglihatan kasat mata yang akan membuka aibku

Senyumku

Hanya Engkau sajalah yang memberikan kekuatannya

Yang ke arahnya sulit sekali mendapatkan jalan

Aku........

Masih mencari makna-makna................

Untuk menjadi seorang Sufi Anak Zaman hendaklah kita dapat memberikan tiga hal pokok ini kepada orang lain yang ada di sekitar kita : Jika kita tidak bisa memberikan manfaat kepadanya, jangan memberi mudhorat. Jika tidak bisa membahagiakannya, jangan menyedihkannya. Jika tidak bisa memujinya, jangan mencelanya. Oleh sebab itu senjata paling utama dalam menghadapi ketiga hal yang tersebut di atas adalah selalu menghiasi diri dengan senyum yang tulus, jujur dan penuh cahaya keimanan.

Manusia bisa dikatakan mulia apabila ia digolongkan ke dalam orang yang suci dari kerisauan, dan ia dipenuhi dengan pikiran kontemplatif, sehingga ia akan dapat menempati singgasana yang bertahtakan emas dan mutiara. Untuk memisahkan diri dari perilaku buruk manusia pada umumnya, dengan mengekang sifat kemanusiaanya dan menjauhkan diri dari bisikan-bisikan nafsu, lalu kemudian menempatkan dirinya pada sifat-sifat kerohanian dan selalu terkait dengan ilmu-ilmu hakikat serta mengikuti syariah Rasulullah. Maka hal tersebut dapat ia tunjukkan dari senyum yang dia berikan kepada setiap makhluk Allah yang senantiasa berada dalam kejernihan hati, hari-harinya selalu bersih dari kerisauan. Oleh sebab itu berusaha dan berupayalah untuk merealisasikan keikhlasan dan kejujuran serta sering menyembunyikan amal perbuatan dengan hal lain, dan meneladani sifat-sifat Rasulullah, salah satunya adalah mengikuti senyum yang dimiliki oleh Rasulullah kepada para sahabat, pengikutnya, keluarganya bahkan musuhnya sekalipun.

Seseorang yang berpenampilan tenang, mempunyai ilmu yang luas, memiliki kedudukkan yang tinggi dalam pemerintahan, mempunyai profesi yang berpengaruh dalam masyarakat, atau mempunyai usaha yang banyak dan menyerap tenaga kerja berlimpah, namun ia selalu mengeluarkan suara yang empuk dan nikmat didengar dan tentu saja selalu menghiasi wajahnya dengan senyum yang keluar dari hati, maka senyum tersebut akan melekat pula di hati orang-orang yang menerimanya. Jika kita gampang memberikan senyum kepada orang lain dalam setiap urusan dan keadaan, maka yang paling mudah terlintas dalam ingatan orang lain terhadap kita pastilah senyumnya. Senyum yang tulus, manis dan ikhlas, akan menampakkan ketampanan atau kecantikan diri seseorang yang memilikinya.

Seorang pelayan masyarakat yang bekerja pada kantor pemerintahan, dalam keadaan penat, capek, sibuk, lantas kedatangan tamu, dia dengan suka cita menampakkan senyumnya, seolah-olah semua kepenatan tubuhnya hilang dan tampak segar, tentu saja Allah SWT tak akan menyia-nyiakan hamba-Nya yang seperti ini, aliran darahnya langsung bergulir dengan lancar menyebabkan cahaya wajah menjadi cerah dan berseri-seri. Seorang guru yang selalu menghiasi bibirnya dengan senyum ketika sedang mengajar, tentulah ia akan banyak disukai oleh murid-muridnya, dan ini tidak berarti akan menghilangkan wibawa sang guru pada si murid, malah sebaliknya para murid akan semakin segan dan patuh pada sang guru. Seorang pegawai bank yang selalu menyunggingkan senyum tulus pada saat melayani para nasabah, tentulah akan sangat berpengaruh pada kepuasan hati nasabahnya sehingga memantapkan mereka untuk kembali bertransaksi pada bank tersebut. Seorang ibu rumah tangga yang selalu menanti suaminya pulang bekerja dengan seulas senyum ikhlasnya, akan membuat suaminya ingin cepat-cepat sampai ke rumah setiap pulang kerja. Seorang tukang cuci pakaian yang selalu memberikan senyum tulusnya kepada majikan, akan mendapatkan seorang majikan yang berhati lembut dan suka menolong dalam segala persoalan. Jika kita menyadari dengan penuh keyakinan, bahwa senyum itu adalah sekecil-kecilnya sedekah, maka apabila hal-hal yang kecil tersebut kita kumpulkan, tentulah ia akan bertambah banyak dan menjadi besar. Begitu besar pengaruh senyum dalam kehidupan sehari-hari.

Senyum selain diganjari oleh Allah SWT dengan pahala, ia juga merupakan menjadi jalan terbaik untuk menuju jalan cinta terhadap sesama hamba Allah. Dan cinta merupakan karunia dari Sang Pencipta, Allah SWT, yang diberikan-Nya tanpa batas, ruang dan waktu bagi setiap hamba. Cinta yang terjalin, antar sesama manusia, yang bersaudara, seiman, senasib, sepenanggungan akan menimbulkan terjalinnya rasa bersatu dan bersaudara yang agung dan mulia. Bagi seorang yang sudah tidak memiliki lagi rasa cinta, dapat dikatakan hidupnya sudah dihinakan oleh Allah Azza wa Jalla, hal ini dapat kita lihat, pada seseorang yang telah melupakan tali persaudaraan, tali vertikal dan horizontal, sehingga menyebabkan timbulnya keceraiberaian diantara kaum mukmin, bahkan terkadang sesama saudara “sepertalian”, lebih parah lagi menimpa orang tua dan anak. Hidupnya akan terasa asing dengan Tuhannya, kenikmatan iman dan beribadah tidak diperolehnya. Keindahan harta benda yang dimiliki tak dapat dirasakannya. Kehinaanlah yang didapatnya. Seorang mukmin yang bisa menjaga Rahmat Allah, dia akan menjadikan ukhuwah (persaudaraan) sebagai karakter (ciri) kaum Mukminin di dunia dan di akhirat. Karena Allah Ta’ala telah berfirman : “Sesungguhnya orang-orang Mukmin adalah bersaudara” (QS Al Hujuraat : 10).

Jalinan ukhuwah antar sesama kaum Mukminin selayaknyalah berlandasakan pada iman dan akidah yang berdiri di atas hamparan luas “al hubb fillah” (cinta karena Allah), yang merupakan tali iman terkuat yang dapat dimiliki oleh seorang mukmin yang selalu beriman dan beramal shaleh. Rasul bersabda : “tali iman terkuat ialah bersahabat karena Allah, memusuhi karena Allah, cinta karena Allah, dan marah karena Allah Azza wa Jalla” ( Hadits Riwayat Ath Thabrani).

Keyakinan kita untuk selalu mengutamakan jalinan ukhuwah antar sesama kaum Mukminin yang sedemikian besarnya, membuat Allah tak segan-segan memberikan karunia dan pahala besar, Allah akan mendekatkan para pelakunya keharibaan-Nya dan Allah akan menyerahkan cinta-Nya kepada hamba-Nya dengan cintanya orang-orang yang mencintai-Nya. Diantara tujuh kelompok yang dinaungi Allah di bawah naungan-Nya pada saat tidak ada naungan selain naungan-Nya ialah, “Dua orang yang saling mencintai karena Allah keduanya bertemu dan berpisah karena-Nya” (Hadits Riwayat Al Bukhari).

Dalam hadits qudsi Allah Berfirman: “Orang-orang yang saling mencintai karena keagungan-Ku mempunyai mimbar-mimbar dari cahaya. Membuat para nabi dan syuhada’ iri kepada mereka” (Hadits Riwayat Imam Ahmad).

Kemudian dalam hadits qudsi yang lainnya Allah berfirman : “Cinta-Ku berhak dimiliki orang-orang yang saling mencintai karena Aku. Cinta-Ku berhak dimiliki orang-orang yang saling menyambung hubungan karena Aku. Cinta-Ku berhak dimiliki orang-orang yang saling menasihati karena Aku. Cinta-Ku berhak dimiliki orang-orang yang saling mengunjungi karena Aku. Dan cinta-Ku berhak dimiliki orang-orang yang saling memberi karena Aku” (Hadits Riwayat Imam Ahmad).

Banyak orang-orang mukmin yang telah terjangkit oleh penyakit-penyakit hati sering melupakan saudaranya sendiri, sering melupakan tetangga, teman, kerabat, bahkan tak jarang orang tua yang telah melahirkan dan memelihara mereka dari kecil hingga dewasapun tak terelakkan menjadi yang terlupakan. Mereka disibukkan oleh urusan-urusan dunia yang tidak pernah berkesudahan kecuali mati. Mereka sering diusik oleh perasaan tinggi hati, sombong, ujub, merasa lebih hebat dari yang lain, merasa benar sendiri, hingga kepongahan dan kecongkakannyalah yang timbul kepermukaan. Jika ada orang lain yang dianggap tidak bersesuaian pola fikir dan pendapat, akan dianggap musuh, dan perlu disingkirkan dari pandangannya. Mereka senang melihat orang lain susah, dan mereka juga susah jika melihat orang lain senang.

Berapa banyak orang-orang disekeliling kita yang bermusuhan dengan tetangganya? Berapa banyak orang-orang disekeliling kita yang tidak bertegur sapa dengan teman sekantornya? Dengan saudaranya sesama mukmin? Dengan saudara sekandungnya? Bahkan terhadap kedua ibu bapaknya, atau darah dagingnya sendiri?

Betapa besar janji Allah pada hamba-Nya untuk memberikan ganjaran kepada orang yang selalu menjaga hubungan ukhuwah dengan sesamanya, betapa besar kemuliaan yang dijanjikan Allah untuk diberikan kepada hamba-Nya yang dapat menjaga dan membina hubungan baik dengan sesamanya.

Ayat yang diturunkan Allah sehubungan dengan kecintaannya pada jalinan ukhuwah dapat kita lihat pada Al Qur’an Surat Al Hujuraat : 11 – 12, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka yang diolok-olok lebih baik dari mereka yang mengolok-olok dan jangan pula wanita-wanita mengolok-olok wanita-wanita lain, karena boleh jadi wanita-wanita yang diperolok-olokan itu lebih baik dari wanita yang mengolok-olok, dan janganlah kalian mencela diri kalian sendiri dan janganlah kalian panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk, seburuk-buruk panggilan ialah panggilan yang buruk sesudah iman dan barang siapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim. Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa dan janganlah kalian mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kalian menggunjing sebagian yang lain; sukakah salah seorang di antara kalian makan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kalian merasa jijik kepadanya dan bertakwalah kepada Allah; sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang”.

Dapat pula kita lihat pada hadits qudsi yang diriwayatkan Muslim dari Abu Hurairah : “Seseorang mengunjungi saudaranya di desa lain, kemudian Allah Ta’ala menyuruh salah satu malaikat menunggu di jalan yang akan dilalui orang tersebut. Ketika orang tersebut tiba di tempat malaikat menunggu, malaikat berkata, “Engkau hendak pergi ke mana?” Orang itu menjawab, “Aku akan pergi kepada salah seorang saudaraku di desa ini. “Malaikat bertanya lagi, “Apakah engkau mempunyai urusan padanya yang hendak engkau selesaikan?” Orang itu menjawab, “Tidak, Aku hanya mencintainya karena Allah Ta’ala”. Malaikat berkata, “Aku utusan Allah kepadamu guna membawa kabar gembira bahwa Allah mencintaimu sebagaimana engkau mencintai saudaramu tersebut karena-Nya”.

Dalam satu riwayat, Nabi SAW menjadikan ukhuwah sebagai fundamental utama untuk membentuk “basis beriman” yang diperintahkan kepada beliau. Beliau tahu betul bahwa ukhuwah adalah kebutuhan mendesak untuk mendirikan basis beriman, yang merupakan cikal bakal umat Islam dalam merealisasi moral kalimat “laa ilaaha illallah”. Dengan ucapan “laa ilaaha illallah” yang mendalam di hati, akan mampu menciptakan komitmen kepada apa yang diturunkan Allah. Sehingga bagi seorang mukmin sejati, akan termaknai apa saja yang datang dari Allah, maka hanya kepada Allah jualah semuanya akan kembali.

Seorang Eksekutif Muda, Pengusaha Sukses, Pekerja yang Profesional di bidangnya, atau apa saja yang digeluti untuk tetap mengokohkan eksistensi diri baik dihadapan masyarakat sekitarnya maupun kedudukannya dihadapan Allah SWT, haruslah selalu berpegang teguh pada Al-Quran dan Al Hikmah (Sunnah). Keteladanan yang telah ditunjukkan oleh Rasulullah SAW dalam hal berjabat tangan, berinteraksi, memberikan pengarahan permanen, cinta kepada para sahabat, kerabat dan handaitaulan, yang mengalir dari lubuk hati terdalam, sangat peduli dan kooperatif dengan setiap orang, sehingga menimbulkan perasaan dari orang lain bahwa dia paling dekat dengan kita. Dari ukhuwah yang baik inilah akan tercipta suatu bangunan yang kokoh berupa iman dan akhlak yang mulia, yang tak akan tergoyahkan oleh terjangan-terjangan badai sekelas Tsunami sekalipun.

Barangkali perlu kita mengingat kembali kalimat mulia yang keluar dari mulut sahabat Rasulullah, Umar bin Khathab yang berkata, “Bertemu dengan ikhwah (saudara seagama) itu menghilangkan duka lara”. Kemudian dapat kita renungkan pula pernyataan yang keluar dari lubuk hati sahabat lainnya, yaitu Sufyan ra ketika ditanya, “Apa itu air kehidupan?” Sufyan menjawab, “Pertemuan dengan ikhwah (saudara seagama)”. Yang lebih mengagumkan lagi adalah perkataan yang keluar dari Ibnu Al Mu’taz, “Barangsiapa mempunyai ikhwah (saudara seagama), maka mereka menjadi penolong baginya”.

Bagi kita yang hidup di zaman sekarang ini, di zaman yang penuh dengan intrik-intrik kehidupan, yang banyak dipengaruhi oleh kebudayaan kaum liberal, yahudi, ungkapan-ungkapan para sahabat tersebut, terasa sangat tepat dan benar. Dapat dibayangkan kenikmatan yang diberikan oleh Allah hanya dengan selalu menjalin ukhuwah terhadap saudara seagama saja rasanya kita sudah mampu menggapai dunia untuk merengkuh akhirat, apalagi jika kita dapat melestarikan jalinan ukhuwah tidak hanya kepada saudara seagama saja, tetapi terhadap saudara “sepertalian”, alangkah indahnya nikmat ibadah yang dapat kita rasakan dari Allah SWT.

Sebagai manusia, kita tidak dituntut berbangga dengan diri sendiri, apalagi lebih suka hidup menyendiri dan jauh dari saudara-saudaranya. Ingatlah, bahwa syetan selalu berusaha menyesatkan kita dan ia senang sekali jika saudara kita marah, menjauhkan diri dari kita, memusuhi kita, bahkan terkadang dengan bujuk rayunya ia mampu membuat manusia untuk membunuh dan menghilangkan nyawa saudaranya sendiri. Kita tidak perlu merasa tinggi hati, merasa paling benar dan merasa tidak layak berdampingan hidup dengan orang lain dikarenakan ekonominya lebih rendah dari kita, pola fikirnya lebih sempit dari kita, padahal justru karena kita berfikir begitu kitalah yang memiliki pola fikir yang lebih sempit dari mereka. Kita tidak perlu menjauhkan diri dari saudara-saudara kita, apalagi ingin menyingkirkannya dari kehidupan kita, karena merasa dia tidak diperlukan dalam keluarga kita, karena kitalah yang paling hebat dalam keluarga kita, karena kitalah yang ingin dipandang berjasa dalam keluarga kita. Semua itu tidak ada gunanya dihadapan Allah SWT. Bahkan makhluk Allah yang lainpun akan ikut mengutuk perbuatan tersebut.

Sebagai seorang mukmin sejati, menjalani kehidupan seperti diatas, adalah sesuatu yang tidak akan sanggup dia lakukan. Seorang Sufi Anak Zaman sejatinya harus mampu mengaktualisasikan jati dirinya secara jujur dan benar dihadapan masyarakatnya. Ia harus selalu bersabar atas kehidupan, ia harus belajar untuk selalu mencintai dan memupuk cinta itu sebagai suatu kebutuhan, sehingga mendapatkan segala yang bermanfaat, perkataan manis dan persahabatan yang menyenangkan dari saudara-saudara seagama ataupun saudara “sepertalian”nya.

Sekarang ada problem serius yang mengancam eksistensi kehidupan manusia, yaitu hilangnya keharmonisan di antara manusia, hingga seolah-olah setiap kali zaman berganti dan modernisasi berkembang pesat, maka pemutusan hubungan; kekerabatan atau persaudaraan, juga menjadi meningkat tajam. Ada perbedaan jauh antara kondisi kita sekarang dengan kondisi generasi pendahulu kita, keharmonisan dan persaudaraan sesama mereka. Tidak sama antara masyarakat di mana keharmonisan, kasih sayang, persaudaraan, cinta, berkembang luas di dalamnya, setiap orang merasa dekat satu dengan lainnya dan kedekatan mereka tanpa dihinggapi depresi di dalamnya, berbeda dengan masyarakat saat ini, di mana di dalamnya setiap orang hidup egois, merasa keberatan jika harus bertemu dengan seseorang atau jika seseorang harus bertemu dengannya, ia merasa tertekan jika berhadapan dengan orang lain, setiap orang dari mereka hidup menyendiri dari orang lain, dan hidupnya hampa dari perasaan lembut dan kerinduan yang tinggi. Setiap kali bertemu orang lain, seakan-akan kerugianlah yang akan didapatnya. Seakan-akan orang lain akan merongrong kekayaan yang dimilikinya, atau memanfaatkan jabatan atau profesi dirinya. Fakta yang terjadi sekarang ialah umat Islam yang semestinya menjadi seperti satu jasad, tapi berubah menjadi banyak jasad hingga tidak bisa dihitung dan hidup dalam kehidupan menjemukan, gersang, dan keras tanpa ada spirit dan makna di dalamnya.

Manusia tidak bisa menangkap dan menghadirkan keharmonisan sekaligus, namun ada sejumlah pencetus yang menjadi sebab hilangnya keharmonisan. Betapa seringnya seseorang tidak memperhatikan sebagian urusan sahabatnya, tetangganya, saudaranya. Akibatnya, ia merasa keberatan terhadap sahabatnya, keberatan menerima saudaranya, keberadatan melihat tetangganya dan keharmonisan di antara keduanya menjadi sirna. Karena itu, kita perlu mengetahui kiat bagaimana menjaga keharmonisan, meningkatkannya diantara kita, dan mengetahui apa saja yang merusak keharmonisan, agar kita bisa menjauhinya dan waspada terhadapnya.

Ada banyak hal yang perlu diperhatikan seseorang yang ingin tetap menjaga keharmonisan dengan sesama makluk ciptaan-Nya. Misalnya kita tidak boleh memandang remeh pengaruh perbuatan atau tindakan, dan sikap kita terhadap jiwa orang-orang yang hidup di lingkungan kita. Kita tidak boleh bersikap yang memojokkan orang lain, baik itu saudara seagama ataupun saudara “sepertalian”, juga masyarakat di lingkungan kita. Dalam tatanan kehidupan sosial tidak diperlukan sikap sombong, tidak mau mengakui kesalahan, tidak mau meminta maaf atas kekhilafan yang diperbuat, atau kalaupun meminta maaf itu tidak diteruskan ke dalam hati, hanya sambil lalu saja, lewat saja dari mulutnya. Setelah itu hatinya berkata : “terserah, yang penting aku sudah minta maaf”. Masya Allah. Hal-hal seperti ini harus kita jauhkan dan singkirkan dari fikiran kita. Supaya syetan tidak merajalela menggoda kita. Semestinyalah jika meminta maaf atas suatu kelalaian haruslah diikuti dengan perbuatan dan jalin terus silaturahminya, jangan datang pada saat meminta maaf saja. Biasanya silaturahmi di hari pertama bagi yang sedang bermasalah, belumlah mencairkan kekakuan atau kebekuan hubungan. Oleh sebab itu harus ada usaha untuk selalu bertemu dan bersilaturahmi, sehingga kebekuan tersebut akan segera mencair. Jika kita berbuat demikian, Insya Allah, perbuatan kita yang tanpa sadar menyakiti hati atau bahkan menghancurkannya lambat laun akan memuai dan bagaikan jamur di musim hujan, akan tumbuh nuansa-nuansa baru yang menyegarkan. Lakukanlah selalu dengan menebar senyum dan merajut ukhuwah, Insya Allah hubungan kita dengan saudara seagama atau saudara “sepertalian” akan menjadi harmonis, hasil lainnya yang tak kalah penting adalah : pondansi iman kita akan semakin kokoh.

Tidak ada komentar: